Jumat, 30 Oktober 2009

Pengaruh Arsitektur Lokal Bangunan Gereja di Bali


Pengaruh Arsitektur Lokal Bangunan Gereja di Bali

Arsitektur sangat dipengaruhi oleh letak geografis, geologis, topografi, iklim, hingga sikap dan perilaku yang terangkum dalam kebudayaan. Bagaimanakah agama memperlakukan bangunan atau sealiknya? Ternyata arsitektur mampu menembus bukan hanya batas ruang dan waktu belaka, juga sanggup menjadi duta dan perekat ideologi dan kepercayaan. Dengan demikian, para arsitek sebagai duta budaya dengan segenap ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya hendaknya mampu menunjukkan independensinya.

AWALNYA tidak dikenal aturan ataupun ketentuan tentang seperti apa harusnya bangunan ibadah bagi umat kristiani. Pemilihan gedung Basilica dapat menampung banyak orang, memiliki tata akustik yang sangat baik (tidak menggema), serta ruang dalam bangunannya memiliki skala atau efek psikologis menekan ego manusia sehingga Tuhan menjadi sakral, suci, agung, magis, dan pasti religius. Bagi yang berkiblat ke Vatikan maka konsili Vatikan merupakan atau memberikan peluang seluas-luasnya bagi lokal jenius untuk tumbuh dan berkembang, misalnya dalam hal arsitektur.

Sedangkan bagi yang lainnya melalui peraturan daerah No. 2, 3, dan 4 tahun 1974 menampilkan citra Bali-nya. Ataupun juga dengan sengaja mengangkat tema arsitektur Vernacular, Neo Vernacular, Regional Arsitektur, dan lainnya dengan sangat kreatif namun terkadang terkesan eklektif dan kurang normatif.

Arsitektur adalah upaya pencairan yang tidak pernah berakhir, dia berkelanjutan berputar sehingga kenangan masa lalu (nostalgia) dapat tampil kembali secara utuh maupun dengan beberapa perubahan. Di arsitektur barat, kerinduan masa lalu dikenal sebagai arsitektur klasik yaitu masa arsitektur Yunani dan Romawi. Di Bali, dimana perjalanan arsitekturnya tidak sepanjang di negeri barat, maka arsitektur klasiknya dapat disebutkan sebagai arsitektur tradisional Bali dataran dengan pola sanga mandala dengan natah sebagai pusatnya. Kerinduan masyarakatnya terhadap keindahan, keagungan, dan kebesaran masa lalu dalam menjaga keseimbangan hubungan manusia dengan alam, manusia, dan Tuhan-nya yang dikenal sebagai Tri Hita Karana menyebabkan filosofi tersebut menjadi super-struktur dalam segala kiprah kehidupan dan penghidupannya, termasuk arsitektur.

Asimilasi, akulturasi, ataupun adaptasi adalah suatu dinamika yang berlangsung secara evolusi maupun revolusi dalam hubungan sosial kemasyarakatan untuk dapat hidup berdampingan secara penuh cinta-kasih dalam kebersamaan, kesetaraan, dan lainnya yang akhirnya bermuara pada pencampuran, penyatuan, saling-silang pengaru, maupun melahirkan keunikan dalam hal kebudayan termasuk arsitektur.

Gereja di Bali

Adanya bangunan ibadah bagi umat Kristiani di Bali tentunya karena komunitas yang ada membutuhkan wadah tersebut. Misionaris yang tercatat ke Bali pada 11 September 1935 adalah PJ Kersten, SVD yang selanjutnya disusul oleh rekan-rekannya. Pemberkatan gereja katolik pertama berlangsung di Banjar Tuka, Desa Dalung-Badung pada 14 Februari 1937. Dalung di Badung dan Gumbrih di Jembrana merupakan pusat umat Kristiani ketika itu. Dengan adanya bangunan gereja saat itu, berarti menambah perbendaharaan masyarakat Bali terhadap bangunan tersebut dalam katalog arsitekturnya.

Beberapa bangunan yang telah terbangun sampai dengan saat ini masih berada pada bentuk dasar linier yang dipakai pada Basilica, bentuk dasar salib Yunani dan Romawi (lihat gambar). Ketiga bentuk dasar yang ditransformasikan ke dalam denah bangunan gereja di Bali didisain dengan kreatif melalui perpaduan tuntutan fungsi, kearifan lokal, peraturan/persyaratan yang ada menjadi beraneka wujud yang sekaligus menjadi identitas komunitasnya. Teori arsitektur menyebutkan bahwa untuk bangunan dengan fungsi religius harus memenuhi kaidah-kaidah antara lain: di luar skala manusia ditampilkan melalui ketinggian bangunan (batasan sesuai perda adalah 15 meter), sosok bangunannya meruncing ke atas dengan bentuk-bentuk segitiga, kemegahan (melalui dimensi dan bahan), kewibawaan (melalui bentuk simetris, seimbang, dan pengulangan), dan lainnya yang dirancang sejak dalam pengolahan site, tampak bangunan, ruang dalam maupun ruang luar, struktur, bahan, serta ornamennya.

Dua buah gereja yang menurut penulis sangat kental dengan nuansa arsitektur lokal (Bali) adalah Gereja Katolik Hati Kudus Jesus di Desa Palasari, Jembrana, yang bergaya paduan arsitektur Bali (timur) dengan Gothjik (barat) yang dibangun pada 1954 dan selesai pada 13 Desember 1958. Pada 1992 hingga 1994, gereja ini direnovasi dengan melibatkan arsitek lokal Ida Bagus Tugur. Bentuk dasar denahnya adalah salib Romawi, dengan atap bertingkat -- pada titik pertemuan silangnya menyerupai meru dan yang di tengah-tengah dipasang atap bertingkat tiga yang meruncing ke atas, menggunakan ornamen dengan tata rias Bali, serta dilengkapi dengan tujuh buah menara. Jumlah menara ini memiliki makna sekaligus merupakan analogi simbol dari tujuh Karunia Roh Kudus atau Sakramen yaitu permandian, Krisna, tobat, ekaristi, minyak suci, perkawinan, dan imamat. Di bagian ruang luar dijumpai adanya pagar dan candi bentar Bali, demikian juga pada ruang dalamnya mengunakan unsur-unsur dekorasi yang bernafaskan Bali. Kemudian Gereja Katolik Paroki St. Yoseph di Jalan Kepundung Denpasar. Arsitektur Gereja St. Yoseph atas dasar pendekatan hermeneutic merupakan hasil perkawinan, penyatuan, dari arsitektur barat yang bernuansa Romanika Itali Utara (dengan menambahkan bangunan/emperan di depan pintu utama bangunan), Gothik Belanda/Belgia (lihat jendela depan, letak pintu atau orientasi ke arah barat, serta menaranya). Sedangkan dari unsur lokalnya tampak terlihat dari bahan dekorasi fasade dari bata dan paras Bali, menggunakan bentuk bangunan meru, bale kulkul dan kori yang dijadikan satu kesatuan. Unggulan dari ciri barat (Gothik) dan timur (tradisi) dijadikan satu sehingga menampilkan sosok arsitektur yang unik.

Tampaknya, arsitektur gereja Katolik di Bali seperti contoh diatas adalah yang dipayungi oleh Konsili Vatikan dapat dengan bebas bermain pada khasanah kedaerahan. Itulah sebabnya arsitektur Bali khususnya pada bentuk dan bahan mendapat porsi yang utama pada Gereja Hati Kudus Jesus di Palasari, Jembrana, dan St. Joseph di Jalan Kepundung Denpasar. Kemampuannya untuk berasimilasi sangat tinggi untuk kemudian beradaptasi dan akhirnya diterima menjadi bagian dan milik masyarakat.

Beberapa upaya yang dilakukan oleh para arsitek untuk bangunan gereja di Bali agar bernuansa lokal karena dikehendaki oleh Perda No. 2, 3, dan 4, tahun 1974 antara lain tampak pada karya gereja di Jalan Debes Denpasar dan Gereja Bukit Doa di Nusa Dua. Gereja di Jalan Debes tampaknya juga mengambil analogi bangunan tradisi meru, sedangkan yang di Nusa Dua, disamping mengambil bentuk meru dengan denah berbentuk salib Yunani, puncak meru-nya seolah-olah kubah lancip yang mencerminkan keagungan, juga ditambahkan menara dengan mengadopsi bentuk bale kulkul sebagai tengeran lengkap dengan loncengnya.

Dari kajian singkat tentang empat objek gereja yang dianggap atau diasumsikan mewakili gereja di Bali dapat disimpulkan bahwa kelompok bangunan gereja yang menganut Konsili Vatikan seperti Gereja Hati Kudus Jesus dan St. Joseph berupaya semaksimal mungkin mengedepankan arsitektur lokal. Artinya, arsitektur klasik (tradisi) diberikan tempat utama dan terhormat sehingga terkesan merupakan penjabaran tema vernacular maupun regional. Sedangkan bagi dua contoh lainnya yaitu gereja di Jalan Debes Denpasar dan Gereja Bukit Doa di Nusa Dua, Badung, juga mencoba memasukkan unsur lokal (tradisi) dalam kekiniannya sebagai upaya menterjemahkan masa lalu atau lokal dalam kekiniannya (modern) atau baru yang dikenal dengan sebutan arsitektur Neo Vernacular.

Dekorasi ruang dalam hampir sebagian besar diantara gereja tersebut menggunakan citra arsitektur lokal dalam hal bentuk, bahan, ornamen, dan lainnya apakah dalam wujud candi bentar, panil, dudukan patung, hingga pintu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar