Kamis, 29 Oktober 2009

P E N A T A A N R U A N G P E R K O T A A N


P E N A T A A N   R U A N G   P E R K O T A A N

Ringkasan 

Kota-kota besar di Indonesia "tidak sehat". Struktur pertumbuhannya cendrung meniadakan ruang terbuka, sedangkan pemukiman terus terdesentralisasi, bergerak menjauh dari pusat kota, menyebar dan menggeser wilayah pertanian di wilayah pinggiran. Proses ini tidak saja kian membebani pengelolaan kota namun juga mengorbankan fungsi ekologis lingkungan dan tanah pertanian di wilayah pinggiran dengan segala dampaknya. Permukimam kumuh, kemacetan, degradasi lingkungan, polarisasi kemampuan masyarakat, serta social unrest adalah sejumlah indikator permasalahan yang secara kumulatif tidak efektif bagi pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat kota dan wilayah pingirannya serta membebani roda pertumbuhan nasional. Transformasi struktur perkonomian Indonesia yang prematur menjadi akar seluruh permasalahan ini sehingga laju urbanisasi menjadi terlampau tinggi di atas kemampuan kota untuk berbenah. Dengan demikian, pengelolaan kota, termasuk penataan ruangnya, tidak dapat lagi dipandang sebagai beban internal kota.

 

Pendahuluan

 

Di masa mendatang, fungsi kota sebagai pusat pertumbuhan, titik kontak hubungan dan perdagangan internasional, nodal informasi dan inovasi teknologi menjadi semakin stategis. Selain itu, tetap saja kota akan menjadi ruang yang paling ideal bagi pertumbuhan dan diversifikasi kegiatan ekonomi berbasis sektor industri, jasa dan perdagangan. Wajarlah, dalam menghadapi tantangan global kelak, peran stategis ini harus ditingkatkan.

 

Hal tersebut masih mungkin bagi Indonesia. Lihat saja komposisi urbanisasi, perbandingan penduduk perkotaan dengan pedesaan masih tergolong rendah, hanya 30 %. Padahal rata-rata penduduk perkotaan di negara-negara yang berpendapatan menengah adalah sekitar 48%, bahkan di negara-negara maju mencapai di atas 70%. Jakarta, meskipun dihuni kurang lebih 9.7 juta jiwa namun hanya menampung + 20 persen penduduk perkotaan, sementara Manila 30 persen, Bangkok 69 persen dan Soul 43 persen . Jadi, dari sisi komposisi penduduk, perkotaan Indonesia masih tergolong aman.

 

Masalahnya justru terletak pada kecepatan laju urbanisasi yang terlampau tinggi yakni 5,4 % per tahun dalam dekade 1980 . Tidak saja tinggi, namun urbanisasi di Indonesia merupakan hasil proses transformasi struktur ekonomi yang prematur, yang terjadi karena dualislistik pembangunan di Indonesia dalam era Orde Baru. Dualistik pembangunan ini telah menempatkan sektor pertanian sebagai lapangan usaha kelas bawah, gurem, tidak efisien dan tidak "prestigous", sehingga menyebabkan pelepasan tenaga kerja pertanian ke sektor moderen, industri dan jasa, di perkotaan menjadi terlampau cepat. Sehingga meskipun lapangan kerja di sektor moderen ini sangat kompetitif, tetap saja urbanisasi meningkat tajam. Apabila asumsi ini benar, maka transisi komposisi penduduk perkotaan akan meningkat sangat tajam menjadi 42 % pada tahun 2010 dan mencapai 60 % pada tahun 2018 .

 

Pertumbuhan Kota

 

Pertumbuhan penduduk yang terlalu pesat dan tersentralisasi di pusat-pusat kota secara simultan telah memberikan beban masalah pengelolaan kota yang muskil dan bahkan "counter produktive" terhadap manfaat "agglomerasi" dan "economic of scale". Karena tekanan masalah yang demikian berat maka kebijaksanaan pengelolaan perkotaan seringkali tidak mampu efisien dan cenderung mengikuti mekanisme pasar yang lebih mengejar maksimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan tanah-tanah kota. Proses ini dapat saja menyebarkan kepadatan penduduk dalam kota dan mendistribusikannya ke wilayah pinggiran, namun sekaligus menciptakan pemekaran fisik kota yang tidak tertata yang justru pada gilirannya menambah beban permasalahan pengelolaan kota itu sendiri.

 

Pembangunan fisik kota berpola "urban sprawl" telah jauh merambat ke wilayah-wilayah pinggiran bahkan di sebagian besar wilayah perbatasan pembangunan fisik ini telah menyatu dan sulit dibedakan. Permasalahan ini mempersulit penyediakan dan pemelihara fasilitas perkotaan. Tidak saja itu, permukimam pinggiran ini hanya terikat secara administratif dengan wilayah sekitar namun secara fungsional dan spatial telah terintegrasi dengan kota sehingga sedikit sekali mempunyai keterkaitan dengan ekonomi dan sosial pedesaan. Sementara itu, meningkatnya permintaan terhadap tanah di wilayah pinggiran kota ikut mendorong kompetisi penggunaan dan kelangkaan tanah di wilayah tersebut. Kompetisi dan kelangkaan ini secara langsung mengangkat harga tanah sekaligus menempatkan wilayah pinggiran kota sebagai ladang subur usaha spekulan tanah. Tentu saja hal ini akan mendorong percepatan mutasi penggunaan tanah dari pertanian ke non pertanian yang kian hari kian bertambah.

 

Berkurangnya tanah pertanian karena terdesak oleh perkembangan fisik kota berdampak percepatan fragmentasi pemilikan tanah sehingga luas garapan menjadi semakin kecil dan tidak lagi efisien untuk usaha pertanian. Hal ini menjadi pemicu lebih lanjut pengalihan penguasaan dan penggunaan tanah dari pertanian ke non pertanian yang akhirnya menyebabkan tanah-tanah pertanian dipinggiran kota menjadi semakin rentan terhadap mutasi penggunaan tanah. Pengalihan fungsi penggunaan tanah pertanian ke kegiatan non pertanian di wilayah pinggiran Kota memberikan dampak ekologis yang serius seperti berkurangnya penyediaan air bagi masyarakat kota atau justru kebanjiran di musim hujan.

 

Selain itu, pola pembangunan fisik kota yang horizontal yang terutama didominasi oleh pembangunan perumahan-perumahan di pinggiran kota secara langsung meningkatkan jumlah masyarakat "Commutter". Kemacetan di jalan raya terutama di waktu pagi dan sore hari terus menjadi-jadi, kian hari kian buruk.

 

Dalam menghadapi kompleksitas beban permasalahan kota tersebut, pengelolaan perkotaan seyogyanya perlu diselenggarakan secara lebih arif dan efektif. Visi utama pembangunan perkotaan perlu diperioritaskan untuk menciptakan iklim perkotaan yang lebih manusiawi, berwawasan lingkungan dan tidak semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi dan fisik. Kegiatan pembangunan fisik yang selama ini cendrung untuk mengurangi ruang terbuka dan kehijauan kota seyogyanya di evaluasi kembali. Demikian juga, pemerintah kota perlu tetap memberikan perlindungan bagi masyarakat yang kurang mampu. Tingginya polaritas kemampuan untuk memperoleh akses pelayanan dan menikmati hasil-hasil pembangunan yang tersebar dalam berbagai segmen mayarakat terbukti dengan indikasi-indikasi meningkatnya kriminalitas, ketidakperdulian dan gangguan-gangguan sosial lainnya. "Social distress" semacam itu menyebabkan kenyamanan dan keamanan untuk tinggal dan berusaha di dalam kota akan cepat menurun dan semakin menjauh dari maksud dan tujuan pembangunan itu sendiri.

 

Dinamika perkembangan kota dan urbanisasi tidak dapat lagi dipandang sebagai masalah internal kota semata-mata melainkan sudah memiliki dimensi yang lebih luas dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial, ekonomi, informasi dan politik secara nasional dan global. Dalam kontek inilah perlu diciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah, pembangunan lingkungan hidup yang layak, serta memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan oleh wilayah dengan tingkat pertumbuhan tinggi terhadap wilayah-wilayah yang lambat pertumbuhannya. Dengan demikian kegiatan – kegiatan perencanaan penataan ruang kota dengan penataan ruang wilayah di sekitarnya tidak pantas lagi dilakukan secara terpisah, seperti yang selama ini dilakukan

 

Disamping itu, kebijaksanaan pembangunan perkotaan perlu juga diarahkan kepada pembangunan kota-kota baru yang mandiri. Langkah-langkah HHHini sangat penting untuk tujuan desentralisasi dan dekonsentrasi pembangunan kota dan sebagai alat untuk menarik migran potensial yang cendrung ke kota-kota metropolitan. Dengan demikian kota-kota ini dapat berperan dalam membenahi ketimpangan antar daerah serta mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional, oleh karenanya mempunyai arti yang sangat strategis.

 

Dalam sisi lain, visi pembangunan perkotaan tersebut harus lebih melibatkan peran aktif pihak swasta dan masyarakat karena pada kenyataannya merekalah yang menjadi motor penggerak pembangunan kota. Untuk itu diperlukan peningkatan kemampuan dalam perencanaan dan transparansi dalam pembangunan dan pengelolaan perkotaan agar peran aktif swasta dan masyarakat dapat ditumbuh-kembangkan.

 

Pengendalian Ruang Kota

 

Kegiatan penataan dan pemanfaatan ruang kota pada dasarnya adalah kegiatan penataan dan pemanfaatan tanah - tanah perkotaan yang dikuasi oleh masyarakat dan badan hukum. Dengan demikian, diperlukan serangkaian tindakan-tindakan yang melibatkan kegiatan-kegiatan pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah dalam mengendalikan atau mengintervensi mekanisme pasar dalam pemanfaatan tanah yang terikat akan hukum "the highest and best use of land". Secara operasional, upaya-upaya pemanfaatan dan pengendalian ruang untuk mewujudkan kondisi ideal dari suatu perencanaan tersebut ditempuh melalui mekanisme pengadaan tanah dan pengendalian penggunaan tanah melalui kebijaksanaan perijinan hingga pemberian hak atas tanah.

 

Wajar, sebagai syarat untuk menjamin berfungsinya rencana tata ruang perkotaan, maka diperlukan sarana pengendalian yang salah satunya adalah mekanisme perijinan dan hak atas tanah. Tentu saja dalam pelaksanaan pemberian ijin hingga penerbitan hak harus menghormati hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan demikian akan tercapai suatu proses yang saling berkesinambungan dalam penataan dan pemanfaatn ruang dimana pemberian perijianan adalah esensi dari upaya pemanfaatan dan pengendalian ruang.

 

Penataan ruang perkotaan dapat juga dilaksanakan dengan program antara lain konsolidasi tanah. Konsolidasi tanah secara konsepsional merupakan langkah yang sangat strategis dalam pengelolaan pembangunan perkotaan, yang antara lain adalah: 1) mempercepat penyediaan dan pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum lainnya, 2). Meningkatkan intensitas penggunaan tanah serta memperbaiki kondisi lingkungan, 3). Menghemat pengeluaran anggaran pemerintah untuk mengadakan tanah dan pembangunan infratruktur dan fasilitas umum, 4). Meningkatkan nilai tanah, 5). Menghindarkan penggusuran masyarakat pemilik tanah dari lokasi asalnya, 6). Mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan perkotaan sekaligus menurunkan ketimpangan sosial yang bersumber dari kondisi permukimam, 7). Memungkinkan terbentuknya sistem perpajakan yang lebih baik dan adil.

 

Selain program konsolidasi tanah, pemerintah kota sudah saatnya melibatkan partisipasi yang lebih aktif pihak swasta dalam mengembangkan program pembangunan rumah vertikal terutama dengan sistim sewa. Pembangunan perumahan susun vertikal untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah melalui sistim sewa memang terkesan mahal. Namun program rumah susun memberikan dampak jangka panjang yang sangat menguntungkan. Hal tersebut adalah atas beberapa pertimbangan.

 

Pertama bila separasi ruang menyempit atau gradasi kepadatan penduduk yang menurun tajam dari pusat kota ke wilayah pinggiran maka penyediaan dan pemeliharaan fasilitas umum dapat dilakukan dengan lebih efektif karena lebih terkonsentrasi. Kedua, bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sistim sewa akan lebih efektif dari pada sistim kepemilikan rumah terutama karena mereka tidak mampu memiliki rumah. Selain itu, karena letak perumahan susun berada di dalam kota, maka tambahan beban biaya transportasi bagai masyarakat berpenghasilan rendah akan dapat dihindarkan, sehingga kelompok masyarakat ini mempunyai peluang yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraannya.

 

Demikian juga, sudah waktunya pengendalian lebih serius fenomena mutasi penggunaan tanah pertanian ke non-pertanian yang terjadi akibat pemekaran kota. Hal ini penting mengingat lokasi tanah-tanah persawahan sawah berkualitas tinggi justru berada di pinggiran kota-kota besar. Apabila luas minimal tanaman padi untuk komsumsi beras di Indonesia pada tahun 1990 adalah 10.25 juta hektar maka luas ini di tahun 2025 akan meningkat menjadi 13, 170 juta hektar. Padahal, luas tanah sawah di Indonesia justru menurun rata-rata 8.255 hektare per tahun dan lebih dari 80 persen mutasi ini justru terjadi di sekitar kota-kota di pulau Jawa. Sulit dibayangkan dampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi Indonesia apabila terjadi kelangkaan pangan terutama beras di masa mendatang. Alternatif penciptaan sawah-sawah baru di luar pulau Jawa bukanlah gampang, sama tidak logisnya apabila mengalihkan pola konsumsi beras ke menu pangan non-beras bagi masyarakat Indonesia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar